Manusia  sebagai  makhluk  ciptaan  Allah  Ta’ala  akan  mengalami  letih, capek, dan gantuk  sehingga  membutuhkan  istirahat  dan  tidur.  Adapun  Allah ﷻ  adalah  Rabbul  ‘Alamin  (Pengatur  seluruh  alam)  tidak  tertimpa  sedikitpun  keletihan,  rasa  kantuk  dan  tidur.

Allah ﷻ  berfirman  :

وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِن لُّغُوبٍ.

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikit pun.”[1]

Allah ﷻ  berfirman :

ٱللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الحَيُّ القَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُۥ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ

“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah, Ayat 255)

Adapun  manusia  saat  melampiaskan  rasa  kantuk  akan  membutuhkan  tidur  yang  lelap  dan  panjang,  terlebih  lagi  tidur  dapat  memberi  manfaat  besar  bagi  manusia  yaitu  dapat  memulihkan  kembali  tenaga  yang  terkuras  karena  letih  beraktifitas  dan  bekerja  seharian  yaitu  memberikan  manfaat  jasmani.  Namun  dalam  islam,  tidur sangat  diperhatikan  dan  telah  diatur  tata  caranya  agar  tidur  tidak  hanya  sebatas  melepaskan  letih,  capek  dan  kantuk  saja,  akan  tetapi  bagaimana  tidur  juga  memberi  manfaat  ruhani  pada  jiwa.  Sekalipun  kita  ketahui  bersama,  seorang  yang  tidur  maka  akan  tetap  dijaga  oleh  Allah ﷻ,  maka  agar  fungsi  tidur  dapat  tercapai  secara  maksimal  tanpa  melakukan  perbuatan  yang  mendatangkan  kebencian  di  sisi  Allah ﷻ, hendaknya  berusaha  menjaga  posisi  tidur  yang  benar  agar  tidak  terjatuh  dalam  perkara  terlarang,  diantara  posisi  tidur  yang  terlarang  adalah  dengan  tidur  dalam  keadaan  posisi telungkup,  sebagaimana  larangan  itu  disebutkan  dalam  hadits. 

larangan tidur telungkup

Dari  Abu  Dzar  Radhiallahu  Anhu  berkata :

مَرَّ بِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا مُضْطَجِعٌ عَلَى بَطْنِي فَرَكَضَنِي بِرِجْلِهِ وَقَالَ يَا جُنَيْدِبُ إِنَّمَا هَذِهِ ضِجْعَةُ أَهْلِ النَّارِ

“Nabi  pernah  melewatiku  sedangkan  aku  sedang  berbaring  diatas  perutku  (tidur  telungkup),  maka  Beliau  mendorongku  dengan  kakinya  sambil  bersabda : “Wahai  Junaidib, ini  adalah  cara  berbaringnya  penghuni  neraka”.[2]

Nabi  ﷺ   tidak  menyukai  posisi  tidur  seperti  ini  karena  posisi  tidur  seperti  ini  menyerupai  posisi  orang  yang  sedang  di siksa  dalam  api  neraka,  sehingga  Beliau ﷺ   melarangnya  dan  membencinya.

Ali  Al-Harawi  (1014 H)  berkata :

وَهُوَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ اْلمُرَادُ أَنَّ هذِهِ عَادَةُ الكُفَّارِ أَوْ الفُجَّارِ فِي هذِهِ الدَّارِ أو هذِهِ تَكُوْنُ ضِجْعَتُهُمْ حَالَ كَوْنِهِمْ في النَّارِ والله أعلم

“Barangkali yang dimaksud disini  adalah  keadaan  orang-orang  kafir  atau  fajir  di negeri  akhirat,  atau  ini  keadaan  mereka  yang  berbaring  telungkup  di  Neraka”.[3]

Maka  menghindari  posisi  tidur  telungkup  adalah  keutamaan  dalam  memperoleh  kenikmatan  tidur  yang  di  cintai  Allah  Ta’ala  dan  rasul-Nya  serta  menghindar  dari  kemurkaan-Nya.


[1] QS. Qaaf 38

[2] HR. Ibnu Majah 3724

[3] Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih 7/2985