Tidak ada sesuatupun yang diperoleh tanpa adanya usaha mencarinya. Kemauan yang kuat dan semangat yang tinggi merupakan perkara yang dapat membawa seseorang untuk meraih ilmu, mengerahkan kemampuan dan mengorbankan waktu dalam rangka memperoleh ilmu. Sebagian orang ditimpa semangat yang rendah dan tekad yang lemah, oleh sebab itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam berlindung kepada Allah Ta’ala dari kelemahan dan rasa malas.[1] Karena lemah dan malas adalah pemutus segala kebaikan, sebagaimana tekad kuat adalah pembawa segala kebaikan.
Al-Allamah Abdurrahman As-Sa’dy Rahimahullah berkata : “Al-Azmu (tekad) dan Ats-Tsabaat (kokoh) keduanya adalah sebab paling besar dalam meraih berbagai macam tujuan, dan diantara doa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الثَّبَاتَ فِي الأَمْرِ وَالعَزِيمَة على الرُّشْدِ
“Yaa Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keteguhan dalam urusan dan tekad kuat dalam mencari pentunjuk kebenaran.” [2]
Dengan kedua hal ini akan tercapai kesempurnaan seorang hamba yaitu tekad kuat dalam mencari petunjuk kebenaran yang menjadi pangkal seluruh urusan-urusan kebaikan kemudian tetap kokoh di atas hal itu. Sedangkan kerugian berasal dari kurangnya tekad atau punya tekad namun tidak di atas petunjuk kebenaran dan inilah pangkal urusan-urusan yang tidak ada manfaatnya dalam agama maupun perkara dunia. Atau kurang kokoh yang mengakibatkan keraguan dan tidak punya keteguhan hati. Maka bagi seorang yang telah memulai amalan benar bermanfaat hendaknya berusaha mengokohkan dirinya untuk menyempurnakannya (amal itu) dari berbagai sisi dan mengarahkan tujuannya secara lahir dan batin, dan janganlah dia menganggap lambat datangnya hasil yang bermanfaat akan tetapi teruslah lakukan dengan tekun tanpa rasa beban disisinya dan tanpa rasa tercela.” [3]
Ibnul Qoyyim Rahimahullah berkata : “Tatkala janji yang mulia, jalan yang lurus dan berita yang agung ini tidak sampai kepadanya selamanya kecuali melalui pintu ilmu dan iradah. Iradah adalah pintu untuk mencapainya dan ilmu adalah kunci pintu yang tidak beroprasi itu, dia yang mampu membukanya. Hanya saja kesempurnaan setiap insan akan tercapai dengan dua jenis ini yaitu : semangat yang meninggikannya dan ilmu yang menuntunnya. Maka sesungguhnya tingkatan-tingkatan kebahagiaan akan melewati seorang hamba dari dua arah ini atau salah satu dari keduanya, bisa saja seorang yang tidak memiliki ilmu tentang kebahagiaan sehingga tak tergerak (dirinya) dalam mencarinya atau ia berilmu tentang kebahagiaan namun semangatnya tidak bangkit menggapainya, maka iapun terus menerus tertahan dalam kerendahan tabiatnya dan hatinya terus menerus terhalang dari kesempurnaan yang diciptakan untuknya. Sunnguh ia telah membuat bosan seorang pengembala hewan ternak dan untanya terhadap dirinya, ia menganggap remeh jurang-jurang santai dan berleha-leha, menganggap sepele kelemahan tekad dan kemalasan, tidak sebagaimana seorang yang meningkat ilmunya dan semangat mencarinya serta diberkahi kesendiriannya dalam menempuh jalan mencari ilmu, mempertahankannya dan istiqamah diatasnya. Tidaklah kekuatan semangatnya melainkan berjalan menuju Allah dan rasul-Nya, tidaklah jiwanya membeci teman-teman yang lembut melainkan Ibnu Sabil yang menemaninya dalam perjalanannya.
Tatkala tekad kuat sesuai tujuan utama maka kemuliaan ilmu akan mengikuti kemuliaan yang dipelajari. Puncak kebahagiaan seorang hamba yang takkan ada kebahagiaan tanpa adanya tekad kuat, tidak ada kehidupan kecuali bersamanya sehingga tekad kuat itu berkaitan dengan tujuan yang tak akan sirna dan binasa. Tekad-tekad yang berjalan menuju keharibaan Dzat Yang Maha Hidup yang takkan mati, tidak ada jalan menuju tujuan mulia ini serta bagian yang sempurna ini kecuali dengan ilmu yang diwariskan dari hamba-Nya, rasul-Nya dan kekasih-Nya yang untuk hal itu Dia mengutusnya sebagai seorang da’i, mengokohkannya diatas jalan ini sebagai seorang pemberi petunjuk, dan menjadikannya sebagai perantara antara Dia (Allah) dan manusia, sebagai seorang yang mengajak mereka dengan izin-Nya menuju negeri keselamatan (Surga).” [4]
Tulisan ini terjemahan dari Kitab An-Nubadz Fii Thalabil Ilmi Karya Syaikh Hamdi Bin Ibrahim Al-Utsman, Kuwait.
Penerjemah : Ustadz Muhammad Rofi’i Sitorus Hafidzahullah

[1] HR.Bukhari 6367, Muslim 2706 dari hadits Anas Bin Malik Radhiallahu Anhu
[2] HR.An-Nasa’i 1304
[3] Majmu’ul Fawaid Wa Iqtinashul Awabid hal.166
[4] Miftah Daar As-Sa’adah 1/46