Abdullah  Bin  Mas’ud  Radhiallahu [1] berkata  :

لا يَزالُ النّاسُ بِخيْرٍ ما أتاهُمْ العِلْمُ مِنْ قبْلِ أَصْحَابِ النَّبِي صلى الله عليه وسلم وَأَكَابِرِهِمْ, فإِذَا أَتاَهُمْ العِلْمُ مِنْ قَبْلِ أَصَاغِرِهِمْ فَذَلِكَ حِيْنَ هَلَكُوْا

“Senantiasa  manusia  dalam  kebaikan  selama  ilmu  yang  datang  kepada  mereka  dari  sahabat  Nabi   dan  sesepuh  ulama  mereka.  Apabila  ilmu  datang  kepada  manusia  dari  kaum  muda[2]  (anak  kemarin  sore)  maka  disitulah  saat  kehancuran  mereka.”     

Beliau  (Ibnu  Mas’ud) [3]  juga  berkata  :  “Sungguh  kalian  akan  terus  dalam  kebaikan  selama  ilmu  dimiliki  para  sesepuh  kalian.  Jika  ilmu  itu  pada  kaum  muda-mudi  niscaya  orang-orang  yang  lanjut  usia  enggan  belajar  dari  anak  muda.”

Ibnu  Qutaibah[4] berkata :  “Senantiasa  manusia  dalam  kebaikan  selama  guru-guru mereka  adalah  para  sesepuh,  bukan  kaum  muda-mudi.”

Seorang  sepuh  telah  hilang  darinya  watak  darah  muda,  egoistis,  nekad  dan sembrono,  sudah  kenyang  makan  asam  garam  (banyak  pengalaman),  tidak  terdapat  pada  ilmunya  kerancuan,  lebih  menguasai  hawa  nafsu,  tidak  tertimpa  ketamakan  dunia,  syaitan  sulit  menggelincirkannya  seperti  ketergelinciran  kaum  muda,  bersamanya  kewibawaan,  kemuliaan  dan  kehormatan.

Anak  muda  terkadang  tertimpa  hal-hal  tersebut  yang  para  sesepuh  terjaga  darinya.  Jika  hal-hal  tu  ada  pada  diri  anak  muda  lalu  berfatwa  maka  ia  binasa  dan  membinasakan  lainnya.

Nabi  ﷺ  saat  mengabarkan  tentang  sifat  khawarij  yang  mereka  tersesat,  bahwa  mereka  kaum  muda  umurnya.[5]     

Imam  An-Nawawi[6] Rahimahullah  berkata  :

يستفاد منه أن التثبت وقوة البصيرة تكون عند كمال السن وكثرة التجارب وقوة العقل

“Diperoleh  faidah  darinya  (dari  hadits, pent)  bahwa  ketelitian  dan  kedalaman  ilmu  terbentuk  saat  bertambahnya  umur,  banyak  pengalaman  dan  kekuatan  berfikir.”

Al-Hafidz  Ibnu  Hajar[7] menyimpulkan  dari  penyampaian  Al-Bukhari  terhadap  hadits  Abu  Hurairah  Radhiallahu  Anhu  tentang  pengabaian  amanah  bahwa  urusan  diserahkan  kepada  yang  bukan  ahlinya, di dalam  Kitab  Ilmu  ketika  berkata  :  “Seakan  penyusun  (Al-Bukhari)  memberikan  isyarat  bahwa  ilmu  harus  diambil  dari  sesepuh  ulama,  dengan  mengacu  pada  apa  yang  diriwayatkan[8]  dari  Umayyah  Al-Jumahi  bahwa  Rasulullah  ﷺ  bersabda  :

إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُلْتَمَسُ الْعِلْمُ عِنْدَ الأَصَاغِرُ

“Sesungguhnya  diantara  tanda-tanda  (dekatnya)  kiamat,  ilmu  diambil  disisi  kaum  muda.”

Bukanlah  maknanya  bahwa  seorang  pemuda  tidak  layak  menjadi  seorang  ‘Alim  Ulama  atau  menjadi  seorang  penuntut  ilmu,  bahkan  di dapati  di  masa  dahulu  dan  di  masa  kini  seorang  pemuda  yang  menguasai  berbagai  bidang  keilmuan  serta  ahli  dalam  pengajaran.

Abdullah  Bin  Abbas  Radhiallahu  Anhuma[9]  berkata :

كاَنَ القُرَّاءُ أَصْحَابُ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتُه كُهولاً كانوا أو شُباناً

“(Dahulu)  para  qurra’  (ahli  ilmu)  anggota  majelis  musyawarah  Umar  Bin  Khattab  adalah  orang-orang  tua  dan  kaum  muda.”  

Ibnu  Abbas  Radhiallahu  Anhuma  berkata  :

كُنْتُ أُقْرِئُ رِجَالًا مِنْ الْمُهَاجِرِينَ مِنْهُمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ

“(Dahulu)  aku  mengajarkan  (Al-quran)  kepada  sekumpulan  muhajirin,  diantara  mereka  Abdurrahman  Bin  ‘Auf.” [10]

Ibnul  Jauzi  Rahimahullah  berkata  :  “Padanya  ada  peringatan  agar  mengambil  ilmu  dari  ahlinya,  walaupun  umur  mereka  masih  muda  dan  belum  ada  pangkat  jabatan.” [11]

Namun  tidak  selayaknya  bagi  seorang  yang  di  negerinya  ada  seorang  alim  senior  dan  unggul  dalam  ilmu  menyepelekan  majelisnya,  meninggalkan  dan  menjauhinya,  lalu  mengambil  ilmu  dari  orang  yang  lebih  dangkal  darinya  dari  penuntut  ilmu  yang  muda.

Tulisan  ini  terjemahan  dari  Kitab An-Nubadz  Fii Thalabil Ilmi Karya Syaikh  Hamdi  Bin  Ibrahim  Al-Utsman, Kuwait.

Penerjemah : Ustadz  Muhammad  Rofi’i  Sitorus Hafidzahullah


[1] Ibnul Mubarak meriwayatkannya dalam Az-Zuhd No.815 : Sufyan telah mengabarkan kepada kami dari Abu Ishaq, dari Sa’id Bin Wahab, dari Abdullah Bin Mas’ud lalu beliau menyebutkannya. Sa’id Bin Wahb adalah Al-Hamdani Al-Khaiwani, Ibnu Ma’in menyatakan ia terpercaya dan perawi-perawi lainnya juga dikenal orang-orang terpercaya.

[2] Ashoghir yaitu orang-orang yang dangkal ilmunya dan pengalamannya, umumnya dari kalangan kaum muda demikian pula dari kaum tua bisa disebut ashoghir jika dangkal ilmunya. (pent)

[3] HR. Abu Khaitsamah dalam Kitab Al-Ilmu nomor 155, Jarir menyampaikan kepada kami dari Mughirah dari Ibrahim berkata : Abdullah Bin Mas’ud berkata : lalu beliau menyebutkannya.

[4] Nasihah Ahli Hadits oleh Al-Khatib Al-Baghdadi halaman 30, dinukilkan dari muqaddimah Syaikh Abdussalam Bin Barjas dalam tahqiqnya untuk nasehat yang sangat penting.

[5] HR. Bukhari 6930, Muslim 1066 dari hadits Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu Anhu.

[6] Fathul Baari 12/287

[7] Fathul Baari 1/143

[8] Riwayat ini dengan redaksi tamridh (majhul). Ibnul Mubarak meletakkannya dalam Kitab Az-Zuhud Hal.21 penjelasan Ahlu Bid’ah.

[9] HR. Bukhari 4642

[10] HR. Bukhari 6830

[11] Al-Adaab Asy-Syar’iyah Libni Muflih 2/111