Ibnu ‘Aun [1] berkata : “Janganlah kalian mengambil ilmu kecuali dari seorang yang direkomendasikan (diambil ilmunya).”
Sulaiman Bin Musa[2] berkata :
لاَ يُؤْخَذُ العِلْمُ مِنْ صُحُفِي
“Ilmu tidak diambil dari seorang shuhufi.” [3]
Al-Khatib Al-Baghdadi [4] berkata : “Maka sungguh ia akan menjadi orang yang mengambil pemahamannya dari lisan-lisan ulama bukan sekedar dari tulisan.”
Mengambil ilmu dari ulama secara lisan memiliki faidah besar dibandingkan mengambilnya sebatas dari tulisan, diantaranya :
- Memperingkas waktu : sungguh seorang ‘alim berbicara kepadamu dengan ilmunya dan apa yang diperolehnya dari guru-gurunya dan apa yang dibacanya sendiri. Ini sebagai tolak ukur jikalau sekiranya kau ingin mencarinya sekedar membaca dari lembaran tulisan, niscaya menghabiskan waktu lebih banyak dibandingkan kau memperolehnya dengan lisan.
- Penyampaian secara lisan lebih memantapkan masuknya ilmu kedalam pikiran penuntut ilmu dan menghadirkannya. Para sahabat dahulunya ketika turun firman Allah Ta’ala kepada mereka :
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ
“Dan Muhammad hanyalah seorang Rasul, sebelumnya telah berlalu beberapa rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?.” [5]
Mereka (para sahabat) memahami dari ilmu ini saat tibanya kematian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Manakala Abu Bakar bangkit dan berbicara kepada mereka tentang ayat ini maka merekapun keluar membacakan ayat ini di jalan-jalan kota Madinah, seakan-akan ayat ini belum pernah turun sebelumnya melainkan hari itu. - Penyampaian secara lisan lebih jauh dari kesalahpahaman, walaup tidak seorangpun yang selamat dari kesalahan namun barangsiapa yang tidak mengambil ilmu kecuali dari lembaran tulisan maka akan sering terjadi kesalahpahaman kecuali orang-orang yang dijaga Allah. Ini contohnya Ibnu Al-Qaththan Rahimahullah dengan kemuliaannya mengkritik keras Hisyam Bin ‘Urwah dengan mukhtalith (terganggu hafalannya, Pent), hal itu disebabkan dia hanya seorang Shuhufi, sebagaimana Adz-Dzahabi [6] berkata :
“Sungguh kamu (Hisyam) seorang shuhufi, kamu tidak pernah duduk belajar dengan ahlu hadits. Apakah seorang berakal akan menganggap Hisyam Bin ‘Urwah termasuk mukhtalith ? Semoga Allah memperbesar pahala kami dalam mengkritikmu.” - Penyampaian secara lisan dari ulama lebih memperdalam pembahasan dan diskusi dibandingkan sebatas mengambil dari tulisan. Oleh karena itu Ibnu Malik pemilik Kitab Alfiyah (Nahwu), dia tidak menempuh metode dialog dan diskusi dikarenakan dia mengambil ilmu dengan penelitian karena kekhususan dirinya. [7]
- Spesifikasi Pemahaman : Seorang pembaca tulisan-tulisan terkadang kesulitan memahami sebagian kandungan tulisan, sedangkan seorang yang mengambil ilmu secara lisan terbebas dari semisal ini karena ia berkesempatan bertanya langsung dengan gurunya.
Asy-Syathibi[8] berkata : “Keistimewaan yang Allah Ta’ala berikan antara guru dan murid, masing-masing mampu mengoreksi dari kekeliruan ilmu dan ulama. Betapa banyak permasalahan yang dibaca seorang penuntut ilmu dalam sebuah kitab lalu ia menghafalnya, namun ia meragukannya dan kurang memahaminya, tetapi ketika gurunya langsung menjelaskannya kepadanya maka secara spontan ia bisa memahaminya, iapun memperoleh keistimewaan ini dihadapannya.
Pemahaman ini dapat diperoleh dari unsur kebiasaan dari isntrumen situasi dan penjelasan duduk permasalahan yang terlintas dalam pikiran penuntut ilmu. Namun terkadang pemahaman ini muncul bukan dari unsur kebiasaan akan tetapi karena karunia besar Allah Ta’ala yang Ia anugrahkan kepada penuntut ilmu saat berada dihadapan gurunya dengan penuh rasa kebutuhan dan keinginan untuk bertemu kepadanya.”
Asy-Syathibi juga berkata dalam Fawaid Mujalasah Al-Ulama[9] : “Jika dibukakan bagi seorang penuntut ilmu dihadapan orang lain sesuatu yang tidak diperoleh baginya, dan tetap bertahan cahaya pengetahuan itu bagi mereka dengan ukuran sejauh mana mereka mampu bertahan dalam mengikuti guru mereka, memperoleh adab dan ketauladanan darinya, maka jalan ini akan bermanfaat bagi setiap evaluasi penilaian.” - Seorang penuntut ilmu bisa memperoleh metode dan adab ulama dengan penyampaian ilmu secara lisan dan lebih jelas kekuatan ilmiyah ulama baginya. Adapun mengambil ilmu dari tulisan-tulisan, tidak berbicara langsung dengan ulama, tidak pula duduk bersimpuh dihadapan mereka maka akan kamu lihat padanya sikap lancang terhadap ulama dan suka mencari-cari pembahasan yang ganjil yang kurang terpuji.
Asy-Syathibi berkata[10] : “Meneladani orang yang mulia (ulama) dan berprilaku dengan adabnya, sebagaimana kamu ketahui para sahabat meneladani Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, para tabi’in meneladani para sahabat, dan demikianlah pada setiap generasi.”
Ia[11] berkata : “Dari sisi inilah terjadi kritikan tajam kepada Ibnu Hazm Adh-Dhohiri karena ia tidak mulazamah dalam mengambil ilmu dari para ulama dan tidak pula meneladani adab-adab mereka.”
Tulisan ini terjemahan dari Kitab An-Nubadz Fii Thalabil Ilmi Karya Syaikh Hamdi Bin Ibrahim Al-Utsman, Kuwait.
Penerjemah : Ustadz Muhammad Rofi’i Sitorus Hafidzahullah

[1] At-Tamhid 1/45, Al-Adaab Asy-Syar’iyah (2/147)
[2] At-Tamhid 1/46
[3] Shahafi atau Shuhufi adalah orang-orang yang mengambil hadits-hadits dari lembaran-lembaran catatan hadits saja, bukan langsung dari periwayat hadits dan ulama hadits. Pent
[4] Al-Faqih Wal Mutafaqqih 2/97
[5] QS Ali Imran 144
[6] Naqdul Wahm Wal Ihaam 127
[7] Bugyatul Wi’ah 1/131
[8] Al-Muwafaqaat 1/96
[9] Al-Muwafaqaat 1/95
[10] Al-Muwafaqaat 1/95
[11] Al-Muwafaqaat 1/95