Abdurrahman Bin Zaid [1] berkata : “Kami bertanya kepada Hudzaifah Radhiallahu Anhu tentang seorang yang pekertinya dan petunjuknya dekat dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sehingga kami belajar darinya ?” Ia berkata :
مَا أَعْرِفُ أَحَدًا أَقْرَبَ سَمْتًا وَهَدْيًا وَدَلاًّ بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم مِنِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ
“Aku tidak mengetahui ada seorang yang lebih mendekati Nabi ﷺ pekertinya, bimbingannya dan petunjuknya dibandingkan Ibnu Ummi ‘Abdi.” [2]
Ibrahim An-Nakha’i [3] berkata :
كانوا إذا أتوا الرجل ليأخذوا عنه, نظروا إلى هديه وسمته وصلاته ثم أخذوا عنه
“Mereka dahulunya (para salaf, pent) apabila mendatangi seorang untuk diambil ilmunya maka mereka akan memperhatikan petunjukknya (manhajnya, pent), akhlaknya dan shalatnya, barulah mereka ambil ilmunya.”
Ilmu tidak diambil dari ahlu bid’ah, karena mengambil ilmu dari ahli bid’ah akan menghilangkan peringatan keras kepada mereka yang mana hal ini merupakan pondasi dasar prinsip ahlu sunnah wal jama’ah. Ini adalah pondasi yang dibangun diatasnya dalil-dalil Al-Quran, Sunnah serta Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman :
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
“Apabila engkau (Muhammad) melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka hingga mereka beralih ke pembicaraan lain.” [4]
Dari Aisyah Radhiallahu Anha berkata : “Rasulullah ﷺ pernah membacakan ayat ini :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.” [5]
Ia (Aisyah) berkata : “Rasulullah ﷺ bersabda :
فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat, maka mereka itulah adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah, Maka Waspadalah kalian terhadap mereka!.” [6]
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu berkata : “Dari Nabi ﷺ bersabda :
سَيَكُونُ فِى آخِرِ أُمَّتِى أُنَاسٌ يُحَدِّثُونَكُمْ مَا لَمْ تَسْمَعُوا أَنْتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ
“Akan muncul pada akhir umatku orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian yang tidak pernah kalian mendengarnya dan tidak pula bapak kalian. Maka waspadalah kalian terhadap mereka.” [7]
Nabi ﷺ telah memboikot Ka’ab Bin Malik tatkala tertinggal dalam perang Tabuk.” [8]
Ibnul Qoyyim [9] Rahimahullah berkata : “Padanya dalil atas hak seorang imam, ulama dan orang shalih untuk memboikot orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang berhak mendapatkan teguran.”
Al-Imam Al-Baghawi [10] Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ atas hal itu. Ia berkata : “Telah berlalu masa sahabat, tabi’in, atba’ut tabi’in dan ulama sunnah atas hal itu, mereka ijma’ sepakat atas memusuhi ahlu bid’ah dan memboikot mereka.”
Ia (Al-Imam Al-Baghawi) [11] Rahimahullah juga berkata : “Nabi ﷺ juga telah mengabarkan tentang perpecahaan umat ini dan munculnya Ahlu Bid’ah di tengah mereka. Beliau menghukumi keselamatan bagi orang-orang yang mengikuti sunnahnya dan sunnah sahabatnya Radhiallahu Anhum. Maka kewajiban seorang muslim apabila melihat seorang pengekor hawa nafsu dari Ahlu Bid’ah yang berkeyakinan melakukan sesuatu (bid’ah), atau meremehkan sebuah sunnah maka hendaknya memboikotnya, berlepas diri darinya, dan meninggalkannya saat hidup dan setelah kematiannya, janganlah memulai ucapan salam kepadanya jika bertemu dengannya dan jangan pula menjawab salamnya apabila ia memulai salam sampai ia meninggalkan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran.
Larangan memboikot lebih dari 3 (tiga) hari diantara dua orang karena perbuatan meremehkan hak-hak persahabatan dan kekeluargaan, bukan karena hak agama. Adapun memboikot pengekor hawa nafsu ahlu bid’ah itu selamanya sampai ia bertaubat.”
Abdurrahman Bin Mahdi [12] Rahimahullah berkata : “Tiga orang yang tidak diambil (ilmu) dari mereka : Seorang yang tertuduh berdusta, pelaku bid’ah yang mengajak kepada kebid’ahannya, seorang yang sering linglung dan keliru.”
Imam Malik [13] Rahimahullah berkata : “Ilmu tidak diambil dari empat orang dan diambil dari selainnya. 1.Tidak diambil dari seorang dungu, 2.Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang mengajak kepada hawa nafsunya, 3.Tidak pula dari pendusta yang berdusta atas ucapan manusia (walaupun tidak tertuduh berdusta atas hadits Rasulullah ﷺ), 4.Tidak pula dari seorang yang tua, punya keutamaan, keshalihan, dan ibadah namun tidak memahami apa yang diucapkan.”
Ayyub[14] berkata : “Sa’id Bin Jubair pernah melihatku bersama Thalqu Bin Habib, maka ia berkata : “Mengapa aku melihatmu bersama Thalqu !, jangan duduk bersamanya.”
Imam Ahmad [15] Rahimahullah berkata : “Semoga Allah ﷻ menghinakan Al-Karabisi, jangan duduk bersamanya, jangan pula diajak bicara, jangan ditulis buku-bukunya, dan kami tidak akan bermajelis dengan orang yang duduk bersamanya.”
Manakala prinsip dasar ini diamalkan di masa para pendahulu, pemboikotan para imam-imam ahlu sunnah nyata terlihat kepada seseorang atas kebid’ahannya, sebagaimana Amru Bin Ubaid Al-Mu’tazili saat Ibnu ‘Aun melarang manusia duduk bermajelis kepadanya.
Abdul Wahhab Al-Khaffaf [16] berkata : “Aku pernah melewati Amru Bin Ubaid sendirian, lalu aku berkata kepadanya : “Ada apa denganmu, kenapa mereka meninggalkanmu?” Ia (Amru Bin Ubaid) menjawab : “Ibnu ‘Aun melarang manusia mendatangiku, merekapun menjauh.”
Ketahuilah bahwa mengambil ilmu dari ahli bid’ah adalah kerusakan yang besar, sungguh terkadang seorang yang mengambil ilmu dari mereka akan tenggelam dalam bid’ah mereka, hal itu mengakibatkan ketergantungan hati terhadap guru yang ia ambil ilmu darinya, dan seorang akan bersama orang yang paling dicintainya pada hari kiamat dan hal ini akan memperbanyak golongan mereka dan akan memperdaya orang awam yang menganggap benar perbuatan mereka, dan duduk bersama mereka akan mewariskan pengingkaran terhadap kebenaran.
Bandar[17] berkata : “Berteman dengan ahlu bi’dah akan mewariskan penolakan terhadap kebenaran.”
Abdus Samad Mardaweh [18] berkata : “Aku telah mendengar Al-Fudhail Bin ‘Iyyadh berkata : “Barangsiapa yang menemani ahlu bid’ah maka Allah akan menghapus amalnya dan mengeluarkan cahaya islam (Nur Al-Islam) dari dalam hatinya. Amal kesalihan pelaku bid’ah tidak akan terangkat mencapai sisi Allah. Seorang mukmin yang melihat orang beriman maka hati akan terang, seorang yang melihat pelaku bid’ah maka akan membuat kebutaan (hati). Siapa yang duduk bersama ahlu bid’ah niscaya tidak akan diberi hikmah.”
Sufyan Ats-Tsauri [19] berkata : “Barangsiapa yang mendengar (ilmu) dari ahlu bid’ah maka Allah tidak akan memberi manfaat kepadanya dengan apa yang ia dengar, dan siapa yang menjabat tangannya maka islamnya akan terlepas sehelai demi sehelai.”
Al-Qahthani [20] berkata :
لا يصحب البدعي إلا مثله تحت الدخان تأجج النيران
Ahlu bid’ah tak berteman kecuali dengan semisalnya
Di bawah kabut asap pasti ada api menyala-nyala
Tulisan ini terjemahan dari Kitab An-Nubadz Fii Thalabil Ilmi Karya Syaikh Hamdi Bin Ibrahim Al-Utsman, Kuwait.
Penerjemah : Ustadz Muhammad Rofi’i Sitorus Hafidzahullah

[1] An-Nakha’i Abu Bakr Al-Kufiy, saudara Al-Aswad dan anak laki-laki saudara ‘Alqamah. Seorang tabi’i terpercaya yang banyak perawi mengambil sanad darinya.
[2] HR.Bukhari dalam shahihnya nomor 3762
[3] At-Tamhid 1/47
[4] QS.Al-An’am 68
[5] QS.Ali Imran 7
[6] HR.Bukhari 4547 dan Muslim 2565
[7] HR.Muslim dalam muqaddimah shahihnya hal.6
[8] HR.Bukhari 4418 dan Muslim 2769
[9] Zaadul Ma’aad 3/578
[10] Syarhus Sunnah 1/227
[11] Syarhus Sunnah 1/224
[12] Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi 1/110
[13] At-Tamhid Ibnu Abdil Barri 1/66
[14] Al-Khallal dalam As-Sunnah 1541 dengan sanad shahih, lihat Syarh ‘Ilal At-Tirmidzi 1/48
[15] Al-Masa’il riwayat Ibnu Hani’ An-Naisaburi 2/154
[16] Mizan Al-I’tidal 3/274
[17] Siyar A’lam An-Nubala 16/109
[18] Siyar A’lam An-Nubala 8/435
[19] Al-Jami’ Liakhlaq Ar-Raawi oleh : Al-Khatib Al-Baghdadi 1/138 nomor : 163.
[20] An-Nuniyah 45