Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”[1]
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?”[2]
Dari Umar Bin Khattab Radhiallahu Anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan, barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.” [3]
Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ.
ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ
“Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisap pada hari Kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya : ‘Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab : ‘Saya berjuang dan berperang demi Engkau ya Allah sehingga saya mati syahid. Allah berfirman : ‘Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut. ‘Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah bertanya : ‘Apa yang telah kamu perbuat? ‘Dia menjawab, ‘Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Qur’an demi Engkau. Allah berfirman : Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu, kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka.” [4]
Ishaq Bin Ath-Thabbaq : Aku telah mendengar Hammad Bin Salamah berkata :
مَنْ طَلَبَ الْحَدِيْثَ لِغَيْرِ اللهِ مُكِرَ بِه
“Barangsiapa yang mencari hadits karena selain Allah maka ia telah tertipu dengannya.”[5]
Al-Husain Bin Ziyad Al-Maruzi, Aku mendengar Fudhail berkata :
“Kalau sekiranya aku bersumpah bahwa diriku berbuat riya niscaya itu lebih aku suka dari pada aku bersumpah bahwa diriku tidak pernah berbuat riya’. Kalau sekiranya aku melihat seorang dikerumuni manusia maka sungguh aku katakan ini lelaki gila, dibandingkan seorang yang dikerumuni manusia namun ia tidak suka terlalu memperbagus bicaranya.” [6]
Waqi’ Rahimahullah berkata :
“Tidaklah kami hidup melainkan ditutupi (aib kami, pent), kalau sekiranya penutupnya disingkap maka akan tersingkaplah perkara yang besar yaitu kejujuran niat.” [7]
Dia juga berkata [8] :
مَنْ اسْتَفْهَمَ وَهُو يَفْهَمُ, فَهُوَ طَرْفٌ مِنْ الرِّيَاءِ
“Barangsiapa yang (sengaja) bertanya sedangkan ia telah paham, maka hal itu bagian dari riya’.[9]
Al-Hafidz Adz-Dzahabi Rahimahullah berkata :
“Terkadang menuntut ilmu itu tercela pada sebagian orang (baik yang wajib atau mustahab), sebagaimana seorang yang menuntut ilmu untuk mendebat para ulama, untuk mengolok-olok orang bodoh, untuk mengarahkan pandangan manusia tertuju kepadanya atau agar diagungkan, dimajukan dan agar bisa memperoleh dunia berupa harta, kedudukan dan jabatan, maka inilah satu dari tiga jenis manusia yang Neraka dinyalakan untuk mereka.” [10]
Kemudian beliau juga berkata :
“Disini ada satu pasal penting yang perlu diperhatikan, maksudnya adalah barangsiapa menuntut ilmu untuk membantu memenuhi kelangsungan hidupnya dan keluarganya secara makruf yang dengan itu dia berusaha mengerahkan kemampuan untuk menyempurnakan berbagai kebaikan, dan iapun memperoleh banyak ilmu maka hal ini dibolehkan -In Syaa Allah- bagi seorang yang tulus niatnya (untuk kebaikan, pent) dan sejatinya ia benar-benar sangat mencintai ilmu, karena ilmu terkadang kecintaannya tidak bisa diungkapkan hanya dengan sebatas kedangkalan sudut pandang pecinta ilmu dari cinta kekuasaan dan harta.” [11]
Semisal ini diharapkan baginya agar ilmunya bisa kembali kepada kebaikan dan bermanfaat untuknya. Sebagaimana Mujahid Rahimahullah dan selainnya berkata :
طَلَبْنَا اْلعِلْمَ وَمَا لَنَا فِيْهِ نِيَّةٌ, ثُمَّ رَزَقَنَا اللهُ النِّيَّةَ بَعْدُ
“Kami telah menuntut ilmu dan tidak ada pada kami niat, kemudian Allah memberi rezeki kepada kami berupa niat setelahnya.”
Maknanya : Awalnya mereka menuntut ilmu tanpa niat keagamaan dan keduniaan, tetapi karena cinta dengan ilmu ketika kebodohan akan dibenci jiwa yang bersih dan fitrah yang suci.
Berikutnya, seorang yang menuntut ilmu kecintaan padanya tercampur dengan ambisi kekuasaan maka niatnya yang baik tidak akan mampu mengimbangi keinginan belajar mengajar, dan ia merasa puas dengan apa yang ditakdirkan baginya. Maka jika datang kepadanya rezeki dan wilayah kekuasaan niscaya ia sangat bangga dengannya karena sangat menginginkannya dan memperoleh keluasan dunia, dan biasanya ia akan bekerja secara selayaknya lalu ia berusaha meminta ampunan kepada Allah dari kekurangannya maka ini termasuk dalam firman Allah Ta’ala :
وَآَخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآَخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka.” [12]
Yaa Allah, terimalah taubat para pembawa ilmu dan ampuni mereka.
Ibnul Jauzi Rahimahullah berkata : “Aku melihat kebanyakan para ulama tersibukkan dengan etalase ilmu, sehingga seorang ahli fiqih hanya mementingkan metode pengajaran saja, seorang penasihat hanya memperhatikan retorika nasehatnya saja, maka ini membuat pelajarannya diperhatikan dan merasa bangga dengan banyaknya orang yang mendengarkannya, mencela pendapat orang yang menyelisihinya, menghabiskan waktunya untuk memikirkan berbagai macam bantahan-bantahan agar bisa mengalahkan lawan debatnya, dan mengantarkan dirinya ingin populer dan terhormat dalam berbagai majelis.
Bahkan terkadang semangatnya adalah mengumpulkan harta dan menjilat para penguasa.
Bila seorang pemberi nasihat semangatnya adalah pada retorika yang dikaruniakan padanya saja dan mengumpulkan banyak orang, menarik hati manusia untuk memuliakannya. Jika ada yang menandinginya pada keahliannya (berceramah, pent) maka ia berusaha mencelanya.
Maka inilah hati yang lalai dari mengingat Allah Azza Wa Jalla. Kalau sekiranya (hati) punya pemahaman dalam hal ini niscaya ia akan sibuk dengannya, kesenangannya (hati) dengan bermunajat kepada-Nya, pengorbanannya untuk ketaatan kepada-Nya.” [13]
Tulisan ini terjemahan dari Kitab An-Nubadz Fii Thalabil Ilmi Karya Syaikh Hamdi Bin Ibrahim Al-Utsman, Kuwait.
Penerjemah : Ustadz Muhammad Rofi’i Sitorus Hafidzahullah

[1] QS.Al-Bayyinah 5
[2] QS.An-Nisa’ 125
[3] HR.Bukhari 1, Muslim 1905
[4] HR.Muslim 1907
[5] Siyar A’lam An-Nubala’ 7/448
[6] Siyar A’lam An-Nubala’ 8/434
[7] Siyar A’lam An-Nubala’ 9/157-158
[8] Al-Jami’ Liakhlaq Ar-Raawi oleh Al-Khatib Al-Baghdadi 1/197 no.339
[9] Ini berlaku jika maksudnya hanya riya’, hadits Jibril tentang Islam, Iman & Ihsan menunjukkan atas bolehnya bertanya dengan seorang alim untuk tujuan yang benar. Imam An-Nawawi berkata : “Selayaknya bagi siapapun yang hadir dalam majelis ilmu, jika ia mengetahui ada peserta majelis yang ingin sekali bertanya dan belum sempat mereka tanyakan maka hendaknya ia bertanya tentangnya, agar semua orang mendapatkan jawabannya.” (Syarh Shahih Muslim 1/160)
[10] Thalabul Ilmi Wa Aqsamuhu Oleh Adz-Dzahabi hal.210-212
[11] Thalabul Ilmi Wa Aqsamuhu Oleh Adz-Dzahabi hal.210-212
[12] QS.At-Taubah 102
[13] Shoidul Khatir hal.335