Allah Ta’ala mencipta setiap manusia diatas fitrah islam, setiap insan pasti meyakini rububiyah Allah sebagai Rabb Pencipta seluruh makhluk, meyakini Allah Ta’ala yang menciptakan seluruh alam semesta, yang menciptakan air lalu membagi-baginya kepada makhluknya yang membutuhkan air, menurunkan air dari langit ke bumi, tidak ada yang mengingkari hak Allah ini kecuali orang yang memiliki bibit kesombongan dalam hatinya dan jiwanya yang menodai fitrah kesucian dirinya sebagai seorang hamba yang diciptakan.
Segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, bagian atas alam semesta yaitu langit dan apa yang beredar disekelilingnya, atau bagian baah alam semesta yaitu bumi dan apa yang dikandung didalamnya, maka semua pengaturan alam semesta itu dibawah kekuasaan Allah Ta’ala dan itulah yang disebut rububiyahNya, dan tidak ada satupun selain Allah Ta’ala yang menentang keputusanNya, dan Allah Ta’ala telah mengabarkan kepada para hamba-Nya melalui kitab-Nya dan rasul-Nya bahwa menciptakan dan menentukan suatu keputusan adalah hak-Nya.
Allah Ta’ala berfirman:
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ketahuilah, milik-Nya penciptaan dan keputusan, Maha Suci Allah Rabbul ‘Alamin.”[1]
Adapun fenomena pawang hujan yang banyak muncul belakang ini khususnya di negara kita Indonesia yang kebanyakan kultur budaya dan peradaban kehidupannya dilatar belakangi paham animisme, paganisme atau panteisme (pengagung panteon seperti :kuil, candi, makam, monumen, patung dewa dan semisalnya), sehingga terkadang masih membekas keinginan untuk mendapat kekuatan dan kesuksesan dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh syari’at Allah Ta’ala. Diantaranya peraktek pawang hujan ini, yaitu upaya memindahkan atau mengusir hujan agar tidak turun ditempat berlangsung acaranya, seakan-akan semua hujan dianggap malapetaka yang dapat merusak acara (event) mereka sehingga harus disingkirkan.
Ironisnya, jasa-jasa pawang hujan inipun mulai banyak diiklankan dimedia-media sosial dan media informasi layaknya barang obral tanpa ada rasa segan dan malu-malu untuk mempromosikan keahlian yang menurutnya dapat memindahkan hujan atau mengusir hujan dari satu tempat ke tempat lain sesuai keinginan kliennya. Adapun tata cara yang mereka gunakan bermacam ragam, ada yang memindahkan hujan dengan cara islami (menurut anggapan mereka), bahkan ada juga dengan cara-cara berbau mistik dan kesyirikan yaitu dengan sesajen atau mantra-mantra, semua itu bisa kita dapati tersebar informasinya dan praktiknya, bahkan permintaan jasa paang hujan ini tidak hanya datang dari kalangan rakyat jelata yang belum mengenyam bangkus sekolah saja, bahkan permintaan pawang hujan ini banyak dari kalangan terpelajar dan bergelar sarjana sampai profesor dan cendikia. Yang membuat lebih heboh, ada diantara pawang hujan yang berani memberi jaminan garansi uang kembali!, sekiranya hujannya tetap turun saat acara berlangsung. Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah
Lebih mengherankan lagi, ada sebagian mereka menyatakan bahwa cara yang mereka gunakan adalah “Syar’i (sesuai syariat islam)” bukan cara “Syirki (pakai kesyirikan)” dengan dukungan dalil-dalil yang mereka bawakan untuk menanamkan kepercayaan kepada masyarakat bahwa praktek yang mereka lakukan adalah benar-benar sesuai syari’at islam dan sesuai tuntunan sunnah Nabi, sehingga tidak heran kalau mereka menyatakan Rasulullah ﷺ adalah “Praktisi Pawang Hujan Pertama” dalam sejarah islam itu sendiri, benarkah?
Pawang hujan berlabel syariat, membuat dagangan mereka laris manis ditengah masyarakat khususnya kaum muslimin, dimana kegiatan manusia belakangan hari ini semakin banyak, padat dan beraneka macam, dan pada umumnya acara (event) tersebut dilaksanakan ditempat terbuka agar lebih terlihat menarik dan eksentrik, dan diantara acara-acara yang terbiasa memakai jasa pawang hujan ini seperti : konser-konser musik atau konser musik islami (katanya), pertunjukan orkestra, shooting sinetron/film, acara peresmian, karnaval, parade, sampai demonstrasi, kampanye, pertandingan olah raga/kompetisi sepakbola, turnamen, kejuaraan, festival seni budaya, bahkan sampai penyelesaian proyek-proyek kecil sampai proyek raksasa agar sesuai target, outbond, garden party, outdoor wedding, upacara, terlebih lagi pesta-pesta pernikahan dan lainnya. Allahul Musta’an
Intinya, kita ingin melihat dengan jelas permasalahan ini dengan timbangan syari’at islam yang sebenarnya, bukan hanya memakai istilah islami namun hakikatnya tidak islami sama sekali, sehingga orang-orang terpedaya hanya dengan istilah namun ternyata realitanya adalah pelanggaran dalam hukum islam.
Sebelum kita menjustifikasi perbuatan ini menurut hukum Allah Ta’ala didalam pandangan syari’at islam, ada beberapa hal yang harus kita uraikan, diantaranya :
1. Siapakah yang menurunkan hujan?
Jelas, seorang yang beriman akan meyakini bahwa Allah Ta’ala yang telah menurunkan hujan, dengan perintah-Nya kepada sebagian makhluk ciptaan-Nya untuk melakukan apa yang dikehendaki Allah Ta’ala dengan proses evolusi dari satu keadaan kemudian berubah dengan keadaan lain hingga terjadilah hujan, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam kitab-Nya Al Qur’an :
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan), hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan”.[2]
Inilah kondisi sebenarnya yang wajib diyakini oleh manusia sebagai bukti keberadaan Allah Ta’ala yang mengurusi seluruh makhluk-makhluk dan hanya Dia-lah yang berhak diibadahi, jika Dia berkehendak menurunkan hujan dengan perintah-Nya pada suatu waktu tertentu dan tempat (lokasi) tertentu, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi atau membatalkan keputusan-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”.[3]
Keputusan Allah Ta’ala ini (turun hujan atau tidak turun) tidaklah berlaku sesekali saja namun setiap hari Allah Ta’ala dalam keadaan sibuk mengurusi hamba-hambaNya dan seluruh makhluk ciptaan-Nya yang ada di alam semesta ini. Allah Ta’ala berfirman :
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.[4]
Maksudnya : “setiap hari Allah Ta’ala mengurusi seluruh makhluk-Nya, menciptakan, mematikan, membagi-bagi rezeki ataupun menurunkan hujan atau menahannya”, maka ini semua urusan Allah Ta’ala setiap hari tanpa ditimpa kelelahan dan keletihan sedikitpun, tidak seperti kita makhluk ciptaan-Nya yang akan mengalami letih dan lelah karena banyaknya kegiatan dan pekerjaan.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوبٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikitpun tidak ditimpa keletihan”.[5]
Jika ini telah kita pahami, bahwa ini semua dibawah kehendak Allah Ta’ala dan tidak ada sesuatupun yang bisa menentangNya, maka mungkinkah kita masih meyakini bahwa ada selain Allah Ta’ala yang mampu menghalangi kehendak-Nya untuk menurunkan hujan kepada makhluk-Nya.
Jika masih ada yang meyakini demikian, maka cukuplah firman Allah Ta’ala ini sebagai nasehat untuk mereka :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي شَكٍّ مِنْ دِينِي فَلَا أَعْبُدُ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ أَعْبُدُ اللَّهَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ وَأُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Katakanlah: “Hai manusia, jika kamu masih dalam keragu-raguan tentang agamaku, maka (ketahuilah) aku tidak menyembah yang kamu sembah selain Allah, tetapi aku menyembah Allah yang akan mematikan kamu dan aku telah diperintah supaya termasuk orang-orang yang beriman”.[6]
2. Apa tujuan diturunkan hujan?
Secara umum ada 2 tujuannya berdasarkan dalil Al Qur’an dan Hadist :
Pertama : Untuk keberlangsungan kehidupan makhluk dimuka bumi ini yaitu hujan yang membawa rahmat Allah kepada seluruh makhluk.
Dalilnya telah kita sebutkan diatas dalam surat Al A’raf 57 :
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan),….., lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan”.(QS.Al A’raf 57)
Adapun dalil hadist yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Muslim disebutkan :
ويقول إذا رأى المطر « رحمة »
“Dan Beliau ﷺ apabila melihat hujan turun akan berucap : “rahmat” (hujan membawa kasih sayang).”[7]
Maka jelaslah, tujuan hujan diturunkan adalah untuk kemaslahatan kehidupan makhluk-makhluk Allah Ta’ala yang ada di bumi ini, dan bukan hanya untuk manusia saja tetapi untuk selain manusia juga seperti hewan-hewan ternak, binatang-binatang melata yang ada didalam tanah, untuk kesuburan tanahnya sehingga bisa menumbuhkan pepohonan dan sayuran dan selainnya sebagai wujud rahmat Allah Ta’ala kepada semua makhluk ciptaan-Nya dan bukti kasih sayang-Nya kepada mereka.
Kedua : Untuk kehancuran para hamba-Nya yang durhaka dimuka bumi ini yaitu hujan yang membawa siksaan dan balasan.
Jika kemaksiatan telah tersebar dimana-mana, kerusakan didaratan dan dilautan, manusia umumnya telah durhaka kepada Allah Ta’ala, maka siksaanpun akan muncul disebabkan kezaliman manusia itu sendiri, siksaan (adzab) itupun berbeda-beda satu dan yang lainnya dan diantara bentuk siksaan Allah Ta’ala kepada para hamba-Nya yang durhaka adalah dengan diturunkannya hujan dan angin (awan mendung) dahsyat kepada mereka yang didalamnya membawa malapetaka untuk menghancurkan mereka (kaum yang berbuat durhaka).
Sebagaimana yang terjadi kepada kaum ‘Aad, dimana mereka menyangka awan mendung yang datang menghampiri mereka adalah hujan yang akan turun membasahi dan memberi kesegaran untuk mereka, namun ternyata awan itu membawa siksaan untuk mereka di sebabkan kedurhakaan mereka, Allah Ta’ala berfirman :
فَلَمَّا رَأَوْهُ عَارِضًا مُسْتَقْبِلَ أَوْدِيَتِهِمْ قَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا بَلْ هُوَ مَا اسْتَعْجَلْتُمْ بِهِ رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih”.[8]
Maka, inilah 2 tujuan utama diturunkan hujan yang saling bertolak belakang, bisa sebagai rahmat bagi makhluk atau sebagai adzab (siksaan) bagi manusia-manusia durhaka.
Lalu, anggapan manusia menyamaratakan semua jenis hujan sebagai pengganggu acara (event), tanpa harus melihat dahulu kondisi dan keadaan hujan yang diturunkan Allah Ta’ala adalah sikap ekstrim yang penuh kesombongan menolak kebenaran yang datang dari Allah Ta’ala, setidaknya mereka terjatuh pada beberapa kemungkaran :
- Seakan mereka memastikan bahwa semua hujan tujuan diturunkannya sama yaitu untuk membawa malapetaka sehingga harus ditahan atau dipindahkan
- Secara tidak langsung mereka menganggap tahu hal ghoib yang hanya diketahui Allah Ta’ala saja, karena mereka menahan hujan sebelum Allah Ta’ala turunkan.
- Secara tidak langsung mereka menganggap tahu hal ghoib yang hanya diketahui Allah Ta’ala saja, karena mereka menahan hujan sebelum Allah Ta’ala turunkan.
3. Benarkah Rasulullah ﷺ Praktisi Pawang Hujan Pertama dalam Sejarah Islam.
Kalaupun benar Rasulullah ﷺ pernah memindahkan hujan (dalam riwayat Bukhari dan Muslim akan datang penyebutannya), namun tidak bisa dikatakan Beliau adalah “Pawang Hujan”, karena secara bahasa indonesia makna “pawang adalah : seorang yang memiliki keahlian istimewa yang berkaitan dengan ilmu ghaib” (lihat KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia), sementara Nabi ﷺ bukanlah seorang yang mengetahui perkara ghaib, Allah Ta’ala berfirman :
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman”. [9]
Artinya, Beliau ﷺ sendiri tidak tahu menahu tentang perkara ghaib, jika Beliau mengetahuinya niscaya Beliau tidak akan pernah tertimpa bahaya, seperti sakit, terluka dan semisalnya namun justru kita dapati Beliau pernah terluka atau sakit. Sehingga keliru jika Nabi ﷺ disebut “pawang hujan”.
Kalaupun benar Nabi ﷺ pernah memindahkan hujan dari satu tempat ketempat lain, maka apakah bisa dikatakan Beliau seorang yang punya kemampuan memindahkan hujan secara tersendiri (tanpa izin Allah Ta’ala) hingga disebut pawang hujan?, maka kita lihat sekilas cuplikan hadist berikut ini (yang mereka bawakan untuk membenarkan praktek pawang hujan) :
Dari Anas Bin Malik Radhiallahu Anhu menceritakan : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki masuk ke masjid melalui pintu masjid yang berhadapan dengan mimbar pada hari jum’at sementara Rasulullah ﷺ sedang berdiri berkhutbah (dihadapan manusia), maka iapun menghadap Rasulullah dalam keadaan berdiri lalu berkata : “Wahai Rasulullah ! hewan-hewan ternak telah binasa (sebab kekeringan), jalanan telah terputus, berdoalah! agar Allah Ta’ala menurunkan hujan kepada kami”, maka Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya seraya berdoa :
اللهم اسقنا اللهم اسقنا اللهم اسقنا
“Yaa Allah ! turunkanlah hujan untuk kami, yaa Allah ! turunkanlah hujan untuk kami, yaa Allah turunkanlah hujan untuk kami!”. Lalu Anas Bin Malik berkata : “Sekali-kali tidak, Demi Allah!, Kami tidak melihat sedikitpun ada gumpalan awan dilangit (sebelumnya), tidak pula antara kami dan gunung sal’i yang tertutupi rumah-rumah, namun tiba-tiba ada gumpalan awan tebal semisal perisai yang muncul dari balik gunung sal’i, kemudian tatkala tepat berada dipertengahan langit maka gumpalan awan itu terpencar menyebar lalu mengeluarkan air hujan. Anas berkata : “Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama 6 hari (setelah kejadian itu)”. Kemudian hari jum’at berikutnya ada seorang laki-laki lagi yang datang (masuk masjid) dari pintu yang sama sementara Rasulullah ﷺ sedang berdiri berkhutbah, iapun menghadap Beliau dalam keadaan berdiri lalu berkata : “Wahai Rasulullah! harta-harta telah musnah, jalanan telah terputus, berdolah! agar Allah Ta’ala menghentikan hujan, (dalam riwayat Bukhari yang lain : “agar Allah memindahkan hujan dari kami”)”, maka Rasulullah ﷺ mengangkat kedua tangannya seraya berdoa :
اللهم حولينا ولا علينا اللهم على الآكام والجبال والآجام والظراب والأودية ومنابت الشجر
“Yaa Allah! (pindahkan hujan) keluar daerah kami dan bukan di daerah kami, Yaa Allah (pindahkan) ke bukit-bukit, gunung-gunung, bebatuan, lereng-lereng bukit, lembah-lembah dan hutan-hutan”. Maka awan tebal itupun terpencar menyebar (menyingkir dari penduduk kota Madinah), dalam riwayat Muslim : “terpencar ke kanan dan ke kiri”, lalu kamipun keluar (dari masjid) dalam keadaan berjalan kaki di bawah sinar matahari”.[10]
Inilah riwayat hadist yang mereka bawakan untuk membenarkan praktek jasa pawang hujan dan menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ adalah orang pertama dalam sejarah islam yang mempraktikkan pawang hujan.
Maka ada beberapa hal yang perlu kita cermati dari hadist ini agar tidak terjadi kesalah pahaman sebelum mengambil beberapa kesimpulan :
- Rasulullah ﷺ tidak memiliki kebebasan sekehendaknya memindahkan hujan melainkan harus minta izin terlebih dahulu kepada pemilik dan pengatur hujan itu (yaitu Allah Ta’ala) dengan cara berdoa memohon kepada Allah Ta’ala Yang Maha Kuasa untuk memindahkan hujan tersebut ke tempat lain dan Allah Ta’ala mengabulkannya. Maka jelaslah bahwa Beliau hanya berusaha dengan meminta dan berdoa yang terkadang dikabulkan ataupun tidak, semuanya sesuai kehendak Allah Ta’ala, namun kita ketahui doa para nabi mustajab sehingga Allah Ta’ala berkehendak memindahkan hujan itu ketempat lain.
- Rasulullah ﷺ melakukan perbuatan ini (berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar memindahkan hujan) setelah Beliau mengetahui bahwa hujan ternyata membawa bencana bukan lagi hujan yang membawa rahmat, terbukti laki-laki yang datang meminta agar Beliau berdoa menyebutkan : “Wahai Rasulullah! harta-harta telah musnah, jalanan telah terputus, berdolah! agar Allah Ta’ala menghentikan hujan, (dalam riwayat Bukhari yang lain : “agar Allah memindahkan hujan dari kami”)”, maka jelaslah bahwa kondisi saat itu berbahaya dan mengkhawatirkan disebabkan efek hujan itu dan bukan untuk semua jenis hujan, namun jika jenis hujan itu adalah hujan yang membawa rahmat dan kesuburan justru Rasulullah ﷺ berdoa :
اللهم صيبا نافعا
“Yaa Allah ! semoga hujan yang bermanfaat”. [11]
Justru Beliau meminta kebaikan dari hujan itu dan tidak mengusirnya atau memindahkannya, berbeda dengan mereka (pawang hujan dan kliennya) yang tidak perduli apakah hujan membawa rahmat atau membawa azab, yang terpenting hujan tidak turun karena mengganggu acara saya dan harus diusir atau dipindahkan. Allahul Musta’an ! adakah yang ingin mengusir rahmat Allah Ta’ala?
Maka perhatikanlah !
Lalu, bagaimana pula jika penolakan terhadap hujan yang dilakukan para pawang hujan tersebut dengan ritual-ritual kesyirikan, maka jelaslah kerusakan diatas kerusakan akan terjadi, kerusakan aqidah kaum muslimin dalam meyakini perkara ghaib ada ditangan manusia selain Allah Ta’ala, dan juga kerusakan pada makhluk yang tertahan mendapatkan hujan karena ulah pawang hujan, maka wajib bagi setiap muslim untuk menolak setiap praktik pawang hujan ini, tidang menggunakan jasa mereka sama sekali, namun berusahalah untuk menyerahkan segala rencana dan acara kepada Allah Ta’ala apapun hasilnya kita ridho dengan keputusan-Nya dan inilah aqidah yang benar, iringi segala rencana dan acara dengan banyak berdoa, ucapankanlah “Semoga Allah Ta’ala memberikan cuaca cerah pada acara kita”, kalaupun didapati hujan turun membasahi bumi pada saat acara berlangsung maka ucapkan doa sebagaimana doa turun hujan yang diajarkan Nabi ﷺ dalam haditsnya “Allahumma Shoyyiban Nafi’an, Yaa Allah ! semoga hujan yang bermanfaat”, dan sekiranya terlihat hujan sangat lebat sekali dan terlihat menimbulkan banjir serta kerusakan maka berdoalah kepada Allah Ta’ala agar diberikan cuaca yang cerah dan diselamatkan dari bencana dan malapetaka, Allah Ta’ala Maha Melindungi hamba-Nya yang beriman dan bertaqwa.
Wallahu A’lam