Saat seorang berdiri dalam shalatnya maka ia diperintahkan untuk membaca ayat-ayat Al-Quran terutama ayat-ayat dalam surat Al-Fatihah karena hukumnya wajib, tidak sah shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah.
Disunnahkan pula membaca surat-surat Al-Quran yang lainnya (setelah Al-Fatihah) yang bersifat pilihan sesuai hafalannya.
Terkadang seorang yang sedang membaca ayat-ayat tersebut melewati ayat-ayat yang menceritakan tentang surga dan terkadang menceritakan tentang neraka (bagi yang memahami maknanya), dan terkadang menceritakan tentang rahmat Allah dan laknat-Nya. Maka dianjurkan bagi seorang untuk berdo’a saat berdiri dalam shalatnya sementara ia melewati ayat-ayat tersebut, dengan mengucapkan kalimat do’a yang sederhana dan ringkas.
Dari sahabat Hudzaifah Radhiallahu Anhu berkata :
أَنَّهُ صَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَفِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَمَا أَتَى عَلَى آيَةِ رَحْمَةٍ إِلَّا وَقَفَ وَسَأَلَ وَمَا أَتَى عَلَى آيَةِ عَذَابٍ إِلَّا وَقَفَ وَتَعَوَّذَ
“Bahwasanya ia (Hudzaifah) pernah shalat bersama Nabi ﷺ, dan dalam rukuknya beliau membaca: “SUBHAANA RABBIAL AZHIIM (Maha Suci Tuhanku yang Maha Agung) dan dalam sujudnya beliau mengucapkan: “SUBHAANA RABBIAL A’LA (Maha Suci Tuhanku yang Maha Tinggi).” Dan tidaklah beliau melewati ayat yang berbicara tentang rahmat, beliau berhenti (berdo’a meminta rahmat), dan tidaklah beliau melewati ayat yang berbicara tentang siksa kecuali beliau berhenti dan berlindung.” [1]
Dalam riwayat lain dari Hudzaifah menceritakan :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ اسْتَجَارَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَنْزِيهٌ لِلَّهِ سَبَّحَ
“Bahwa Nabi ﷺ mengerjakan shalat, apabila beliau melewati ayat yang berkenaan dengan rahmat beliau meminta, jika membaca ayat yang berkenaan dengan siksa beliau minta perlindungan, dan jika membaca ayat yang mensucikan Allah beliau bertasbih.” [2]
Para ulama memberikan penjelasan yang berbeda terhadap hadits-hadits tersebut namun pendapat yang terbaik adalah apa yang sesuai hadits-hadits tersebut dengan perinciannya.
Imam Asy-Syaukani Rahimahullah berkata :
ﻓﻴﻪ اﺳﺘﺤﺒﺎﺏ اﻟﺘﺮﺳﻞ ﻭاﻟﺘﺴﺒﻴﺢ ﻋﻨﺪ اﻟﻤﺮﻭﺭ ﺑﺂﻳﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﺴﺒﻴﺢ ﻭاﻟﺴﺆاﻝ ﻋﻨﺪ ﻗﺮاءﺓ ﺁﻳﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺳﺆاﻝ ﻭاﻟﺘﻌﻮﺫ ﻋﻨﺪ ﺗﻼﻭﺓ ﺁﻳﺔ ﻓﻴﻬﺎ ﺗﻌﻮﺫ، ﻭاﻟﻈﺎﻫﺮ اﺳﺘﺤﺒﺎﺏ ﻫﺬﻩ اﻷﻣﻮﺭ ﻟﻜﻞ ﻗﺎﺭﺉ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺼﻠﻲ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﺑﻴﻦ اﻹﻣﺎﻡ ﻭاﻟﻤﻨﻔﺮﺩ ﻭاﻟﻤﺄﻣﻮﻡ ﻭﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺫﻫﺒﺖ اﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ
“Padanya (pada hadits) terdapat hukum mustahab tarassul (berdoa) dan tasbih saat melewati ayat yang padanya ada tasbih, dan meminta saat melewati ayat padanya meminta, dan berta’awudz saat membaca ayat yang padanya meminta perlindungan dari adzab. Dan yang terlihat jelas bahwa disukainya hal-hal ini bagi setiap yang membaca (Al-Quran) tanpa membedakan sedang shalat atau diluar shalat, seorang Imam, sendirian atau makmum. Inilah pendapat madzhab syafi’iyah.” [3]
Adapun sebagian ulama lain membenci hal ini pada shalat berjamaah imam dan makmum, dan ini pendapat madzhab hanafiyah. Namun mereka hanya membolehkan hal ini pada orang yang shalat sendirian saja dan pada shalat sunnah saja. Adapun menurut madzhab hanabilah membenci hal ini pada shalat wajib.
Pendapat yang tepat adalah sebagaimana yang disebutkan Imam Asy-Syaukani dari madzhab syafi’iyah.
Namun perlu diperhatikan, saat imam melewati ayat rahmat lalu berdoa meminta maka makmum tidak perlu mengaminkan, cukup makmum mendengar saja.
Muhammad Bin Syihabuddin Ar-Ramli berkata :
ﻭﺇﺫا ﺳﺄﻝ ﺃﻱ اﻹﻣﺎﻡ اﻟﺮﺣﻤﺔ ﺃﻭ اﺳﺘﻌﺎﺫ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺭ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻓﺈﻥ اﻹﻣﺎﻡ ﻳﺠﻬﺮ ﺑﻪ ﻭﻳﻮاﻓﻘﻪ ﻓﻴﻪ اﻟﻤﺄﻣﻮﻡ. ﻭﻇﺎﻫﺮ ﺃﻥ اﻟﻤﺄﻣﻮﻡ ﻻ ﻳﺆﻣﻦ ﻋﻠﻰ ﺩﻋﺎﺋﻪ ﻭﺇﻥ ﺃﺗﻰ ﺑﻪ ﺑﻠﻔﻆ اﻟﺠﻤﻊ
“Dan apabila imam (shalat) meminta rahmat atau meminta perlindungan (Kepada Allah) dari Neraka dan semisalnya maka imam mengeraskannya agar makmum mengetahuinya. Jelasnya bahwa makmum tidak perlu mengaminkan doa imamnya walaupun ia (imam) memakai lafadz jama’ (Kami).” [4]
Sehingga jika didapati imam melewati ayat rahmat lalu ia berdoa maka makmum tidak perlu mengaminkan namun cukup menunggu dan mendengarkan saja, namun sekiranya makmum juga mampu berdoa dengan ringkas saat imam berdoa (tidak berlebihan hingga imam melanjutkan ayat berikutnya) maka hal ini diperbolehkan.
Contohnya :
Semisal ia (imam) melewati ayat :
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن أَهلِ ٱلكِتَٰبِ وَٱلمُشرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَا أُوْلَٰئِكَ هُم شَرُّ ٱلبَرِيَّةِ
“Sungguh, orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.” [5]
Maka imam & makmum meminta perlindungan (berta’awwudz) dengan ucapan :
أعوذ بالله من ذالك
‘AUDZU BILLAH MIN DZALIK
“Aku minta perlindungan kepada Allah dari hal itu.”
Atau melewati ayat :
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّلِحَٰتِ أُوْلَٰئِكَ هُم خَيرُ ٱلبَرِيَّةِ
“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” [6]
Lalu berdoa :
أسأل الله أن يجعلني منهم
AS’ALULLAH AN YAJ’ALANI MINHUM
“Aku meminta kepada Allah agar menjadikanku golongan mereka.”
Demikian pula saat membaca ayat yang memerintahkan bertasbih maka silahkan untuk bertasbih. Semisal membaca :
سَبِّحِ ٱسمَ رَبِّكَ ٱلأَعلَى
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi.” [7]
Maka ucapkanlah :
سبحان الله
SUBHAANALLAH
“(Maha Suci Allah).”
Namun, tetap kami ingatkan agar hal ini lebih utama dilaksanakan saat shalat sunnah sendirian saja terutama saat shalat malam. Hal ini dikuatkan dalam riwayat lain dan masih dari jalur sahabat Hudzaifah Radhiallahu Anhu yang mengabarkan saat shalat malam, ia berkata :
أَنَّهُ صَلَّى إِلَى جَنْبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَرَأَ فَكَانَ إِذَا مَرَّ بِآيَةِ عَذَابٍ وَقَفَ وَتَعَوَّذَ وَإِذَا مَرَّ بِآيَةِ رَحْمَةٍ وَقَفَ فَدَعَا وَكَانَ يَقُولُ فِي رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ وَفِي سُجُودِهِ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى
“Bahwa dia pada suatu malam pernah mengerjakan shalat di samping Rasulullah ﷺ, dan beliau membaca surat. Jika beliau melewati bacaan yang berkenaan tentang adzab maka ia berhenti dan ber-ta’awudz (berlindung), sedangkan jika ia melewati ayat yang berkenaan dengan rahmat maka ia berhenti lalu berdoa. Beliau saat ruku’ membaca.”Subhana rabbiyal ‘adziim (Maha suci Tuhan yang Maha Agung)” dan saat sujud membaca, “Subbhana rabbiyal a’laa (Maha Suci Allah, Tuhan yang Maha Tinggi).” [8]
Adapun saat shalat wajib maka hal ini baiknya dihindarkan dengan alasan bahwa Nabi ﷺ sendiri tidak pernah di dapati melakukannya dalam shalat-shalat wajib walaupun jika ada yang melakukannya saat shalat wajib maka boleh saja selama doa, ta’awwudz, dan tasbihnya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu sering pada setiap ayat yang berulang-ulang sehingga memperpanjang shalat wajib yang sejatinya shalat wajib diringankan.
Wallahu A’lam
Penulis : Al-Ustadz Muhammad Rofi’i Sitorus حفظه الله
[1] HR. Tirmidzi 262
[2] HR. Ibnu Majah 1351
[3] Nail Al-Author 2/266
[4] Nihayah Al-Muhtaj 1/548
[5] QS. Al-Bayyinah 6
[6] QS. Al-Bayyinah 7
[7] QS. Al-A’laa 1
[8] HR. An-Nasa’i 1008
Maasyaa Allah
Baarakallahu fiik
Ustadzy